Sebagai pendukung Jokowi sejak awal kepresidenannya sampai sekarang, saya berpendapat, cara terbaik mendukung Jokowi saat ini adalah dengan bersikap obyektif dan kritis terhadap kinerjanya.
Keberhasilan dan pencapaiannya diapresiasi. Tapi kalo Pak Presiden keliru, atau inkonsisten dalam kebijakan, jangan segan untuk mengkritiknya secara terbuka.
Bukannya malah bersikap apologetik, mencari-cari alasan untuk membelanya.
Banyak Pendukung Jokowi yang alergi, bahkan curiga terhadap kritik terhadap Jokowi. Mungkin mereka menganggap bahwa kritikan semacam ini akan memperlemah Jokowi.
Jokower yang mengkritik Jokowi dianggap tidak loyal, penyusup barisan yang memperlemah kubu Jokowi dari dalam. Bahkan ketika saya mengkritik Gibran beberapa waktu yang lalu, saya dicap sebagai Kadrun.
Well, pandangan semacam ini bisa diterima kalo konteksnya adalah masa kampanye Pilpres.
Dalam situasi Pilpres, taruhannya menang atau kalah. Pendukung Jokowi harus satu barisan dong, dan satu suara untuk memenangkan Jokowi.
Tapi pasca Pilpres beda situasinya. Jokowi sudah menang, dan sekarang memerintah.
Pendukung Jokowi tak bisa lagi terpaku dengan attitude saat Pilpres. Karena, taruhannya saat ini bukan lagi menang atau kalah, tapi apakah Jokowi akan berhasil atau gagal.
Pendukung Jokowi harus memastikan agar Jokowi sukses sampai akhir masa pemerintahan.
Ini penting, apalagi di era pandemi seperti sekarang. Banyak kekecewaan terhadap cara Pemerintah menangani pandemi.
Pembantu Jokowi dianggap ga becus, seperti Menkes yang sejak awal pandemi terbukti ga perform. Jokowi sendiri aja kecewa kok, sampai dia bilang menteri-menterinya ga punya aura krisis.
Belum lagi soal-soal lama seperti intoleransi beragama dan radikalisme yang masih marak di berbagai bidang, tapi Menteri Agama memble.
Ini hanya sebagian contoh kasus yang kalau didiamkan oleh Jokowi, justru akan menggerogoti legacy-nya.
Nah, di sinilah pentingnya pendukung Jokowi harus berteriak nyaring agar Jokowi segera membenahi apa yang salah di pemerintahannya, mengoreksi inkonsistensi dalam kebijakannya.
Memang ada sih pendukung Jokowi yang menolak Jokowi dikritik, dengan alasan Jokowi kan orang baik.
Saya tidak setuju.
Sikap semacam ini adalah dukungan dalam bentuk pasrah bongkokan, seakan Jokowi can do no wrong.
Padahal dalam demokrasi, ga ada orang yang ga bisa salah. Siapapun berpotensi untuk salah dan korup, karena itulah diterapkan mekanisme control, check and balance, dan kritik dalam sistem demokrasi.
Adagium klasik “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” berlaku universal. Jokowi bukanlah pengecualian.
Ada juga yang menganggap bahwa kritik terhadap Jokowi itu sok tahu dan keminter.
Kata mereka, Jokowi kan dikelilingi para ahli dalam bidangnya, punya pembantu-pembantu yang pintar. Pasti punyalah rencana hebat, yang kita tidak mengerti.
Ini juga ga sepenuhnya benar. Kabinet Jokowi bukanlah sepenuhnya zaken cabinet yang diisi hanya oleh para ahli. Melainkan juga hasil kompomi dengan partai-partai pendukung.
Menteri ga semata-mata berdasar expertise, tapi politik penjatahan dan perimbangan partai-partai pendukung.
Dan kalau dilihat dari komposisi kabinet yang sekarang, ini adalah kabinet yang mutunya buruk.
Dengan beberapa pengecualian sejumlah menteri yang capable, banyak menteri di kabinet sekarang yang kinerjanya mengecewakan.
Karena itulah pendukung Jokowi perlu ikut menjaga Jokowi, dengan terus melancarkan kritik yang obyektif.
Pemirsa, kalau saya bilang mendukung Jokowi dengan kritik, yang saya maksud bukanlah hinaan, makian dan fitnah terhadap Jokowi.
Menyebut Jokowi plonga-plongo, boneka, turunan PKI, semua itu sama sekali bukan kritik, tapi ujaran kebencian.
Ingat, kritik tidak sama dengan SALAWI: Semua Salah Jokowi.
Kaum Salawi ini ada yang berasal dari Barisan Sakit Hati. Dicopot dari jabatan, terus sakit hati, lalu jadi Salawi.
Ada yang berasal dari kaum radikal, yang mencap Jokowi sebagai pemimpin zalim yang didukung kekuatan anti Islam, dan karena itu harus digulingkan. Diganti dengan NKRI Bersyariah, Negara Islam, atau sistem khilafah.
Salawi juga ada yang berasal dari SJW, Social Justice Warrior, yang mencap Jokowi sebagai otoriter, antek oligarki, dan seterusnya.
Atas nama human rights dan keadilan sosial, kaum SJW menerapkan kecurigaan ekstrem terhadap Pemerintah. Seolah ga ada benernya Jokowi di mata mereka.
SALAWI bukanlah sikap kritis, malah justru sebaliknya. Ia adalah sejenis fanatisme dalam kebencian.
Kaum SALAWI antipati terhadap Jokowi karena personnya, karena Jokowinya. Bukan karena tindakan atau kebijakannya.
Jangan-jangan di mata mereka, Jokowi lahir ke dunia aja udah salah.
Pemirsa, mendukung Jokowi dengan kritik juga berguna bagi Jokowi.
Akan lebih bijak kalau Jokowi saat ini lebih banyak mendengarkan kritik ketimbang pujian pendukung fanatiknya.
Kenapa? Karena kritik bukanlah antipati, melainkan ekspresi sikap obyektif. Yang benar dibenarkan, yang salah disalahkan.
Dukungan fanatik yang selalu memberikan pembenaran terhadap Jokowi justru berpotensi menjerumuskannya.
Fanatisme dalam mendukung sama bahayanya dengan fanatisme dalam menentang.
Selain itu, Jokowi lebih baik menyadari bahwa di term kedua, ketika ia tak bisa maju lagi di term berikutnya, banyak pujian ke dirinya yang tidak murni, melainkan hanya caper dari para oportunis dan petualang politik.
Mereka tak segan-segan meninggalkan Jokowi demi berlabuh ke calon penguasa baru, dan bahkan akan berbalik menyerang Jokowi di kemudian hari.
Pak Jokowi, waspadalah!