Beberapa waktu lalu media sosial kita diramaikan dengan ‘kasus hoax Fahira Idris’ seorang anggota DPD RI atau senator, yang kedapatan mengunggah dalam akun Twitter pribadinya pada tanggal 29 Februari 2020, sekitar pukul 11. 58 WIB.
Ia menyebut: ‘bahwa ada 136 pasien dalam pengawasan virus Corona di Indonesia’ disertai nama daerah asal dan jumlah korban di antaranya adalah DKI Jakarta 35 orang, Bali 21 orang, Jateng 13 orang dan seterusnya, sampai dengan pada unggahan yang kedua’.
Tulisan itu ternyata adalah kutipan yang diambil dari salah satu media online Wartakota.tribunnews, yang juga diunggahnya sambil ditambahkan kalimat lain di depan oleh Fahira dengan kata ‘astaghfirullah’.
Karena gelombang protes netizen begitu keras, Fahira terpaksa menghapus unggahannya dan tetap membantah telah menyebarkan berita bohong, dia berdalih hanya mengutip dari media, meski ada penambahan kalimat ‘astagfirullah’ itu.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah yang dilakukan Fahira itu adalah berita bohong, meski dia membela diri hanya mengutip dari media, sekalipun sudah dilakukan klarifikasi?
Kita tahu pernyataan Fahira dibantah tegas oleh Menteri Kesehatan dr. Terawan yang memastikan ‘karena semua hasil VCR sampai detik ini semua negatif, jadi kalo semua negatif memang tidak ada’. Maka istilah dalam pengawasan juga tidak ada, karena hasilnya negatif, jadi pasien dalam pengawasan itu dipastikan tidak ada. Itu menurut dr. Terawan.
Artinya apa?
Bahwa pernyataan Fahira itu di akun media sosialnya adalah kebohongan atau berita bohong yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam pasal 14 dan 15 Undang-undang nomor satu tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ditegaskan bahwa, barang siapa dengan sengaja menyebarkan berita bohong yang dapat menimbulkan kegaduhan di kalangan rakyat, itu ada ancaman pidananya. Setinggi-tingginya hampir sepuluh tahun.
Pertanyaan berikutnya adalah, lalu bagaimana jika itu kabarnya dikutip dari media? Yah harus dikembalikan dong sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku proses penyelesaiannya.
Bagi Fahira berlaku delik umum, bisa dilaporkan kepada pihak kepolisian. Bagi media berlaku delik pers, melalui Dewan Pers. Jadi sesat pikir kalo dikatakan tidak bisa diproses hukum dalam kasus hoaxnya Fahira. Karena semua sebetulnya bisa berjalan bersamaan.
Fahira sudah resmi dilaporkan, dia juga diam-diam terpaksa mendatangi pihak kepolisian di malam hari. Saya tegaskan, apresiasi dan penghargaan kepada pihak kepolisian yang bertindak cepat merespon pengaduan, meski sebelumnya Fahira bersikeras tidak akan datang. Katanya ada alasan hak imunitas sebagai anggota dewan tidak bisa dituntut hukum.
Bahkan dia sempat mengancam melaporkan balik pelapornya, tapi tidak lama setelah penuhi panggilan, akhirnya ia meminta maaf atas peristiwa yang terjadi karena telah menimbulkan kegaduhan dan keresahan akibat pernyataan itu, dan mendadak memutuskan tidak jadi menuntut balik.
Persoalan meminta maaf dan keadilan hukum itu adalah dua hal berbeda. Kesalahan Fahira boleh saja dimaafkan, tapi bagaimana dengan asas keadilan bagi pelaku hoax yang lain?
Sekarang, timbul masalah baru, ada semacam rasa ketidakadilan jika dibandingkan dengan kasus hukum serupa yang lainnya. Sudah banyak orang di luar sana yang hanya masyarakat biasa menyebarkan hoax. Kemudian mereka tetap diproses hukum.
Padahal mereka juga sudah minta maaf. Mereka juga sangat menyesal dan benar-benar tidak paham soal hoax dan akibat yang ditimbulkannya. Mestinya rakyat biasa itu lebih berhak atas pengampunan. Kasus mereka berhenti dengan cukup meminta maaf.
Ini yang dinamakan asas keadilan bagi semua orang di hadapan hukum.
Dengan logika ini, setelah minta maaf kemudian kasus Fahira distop, seharusnya rakyat biasa juga dihentikan. Mesti ada contoh, biar pejabat negara pun nggak boleh semaunya. Hukum tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Inilah kesempatan kita untuk memperbaiki defisit intelektual para pejabat negeri ini. Sebelumnya bangsa ini juga dipermalukan oleh salah satu komisioner KPAI soal ‘hamil di kolam renang’ yang beritanya mendunia itu.
Seharusnya mereka malah dilakukan pemberatan dua kali lipat, karena sebagai pejabat negara yang digaji dari uang rakyat malah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Bukan sebaliknya terhadap rakyat biasa terkesan tak ada kompromi. Jadi saya pastikan, tidak akan mencabut laporan dan kita ikuti proses hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku sebagai pembelajaran.
Salam Jejak Digital, kita lawan berita bohong yang ada di sekitar kita dan merusak kedamaian kita, serta jangan pernah lelah merawat Indonesia.
Jadi saring informasi sebelum sharing. Dan ingat, di penjara itu tidak enak!