Faisal Basri: SDM UNGGUL DENGAN MENJADI SURGA BUAT PEROKOK?

Salam jumpa pemirsa Cokro TV.

Salah satu dari tujuh agenda pembangunan Jokowi pada periode kedua adalah “Meningkatkan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas dan Berdaya Saing.” Pembangunan SDM sebelumnya mengemuka dalam pidato kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf di Sentul pada 14 Juli 2019. Dalam pidato itu, Presiden mengajukan enam agenda pembangunan dalam payung “Visi Indonesia.” Salah satunya ialah kesehatan anak usia sekolah.

Komitmen membangun SDM tangguh dan unggul sebetulnya sudah masuk pada pemerintahan Jokowi yang pertama. Satu-satunya caranya adalah dengan menjauhkan rakyat–khususnya generasi emas yang hidup di era bonus demografi, lebih-lebih anak-anak usia sekolah–dari rokok.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebelumnya menargetkan prevalensi merokok penduduk usia anak-anak 10-18 tahun turun dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 5,4 persen tahun 2019. Alih-alih mencapai target atau setidaknya mendekatinya, malahan sebaliknya prevalensi merokok anak-anak naik menjadi 8,8 persen tahun 2016 dan berlanjut naik lagi ke 9,1 persen.

Lampu kuning ini.

Anak-anak adalah perokok pemula korban dari abainya negara melindungi mereka dari penetrasi luar biaya industri rokok.

Industri rokok menggelontorkan dana satu juta dollar AS setiap jam untuk mengiklankan produk-produk tembakau dan miliaran dollar berupa rabat untuk para peritel atau pengecer.

Di Indonesia, rokok amat mudah didapat, dengan harga relatif sangat murah. Mau lebih murah? Beli yang jumlah batang per bungkusnya lebih sedikit, ada yang 16 batang, ada pula yang 12 batang. Kios ritel modern dan kedai tradisional menjajakan rokok di sebelah dan di seberang sekolah. Iklan bertaburan di ruang terbuka, televisi, dan media sosial–tak kenal waktu.

Hampir semua rokok putih ternama dikenakan cukai sangat murah, akibatnya harga jual mereka relatif jauh lebih murah. Ada juga siasat merampingkan dan memendekkan batang rokok untuk lebih menekan harga. Contohnya bisa sahabat lihat pada tayangan ini.

Untuk menyiasati besaran cukai, industri rokok mengeluarkan versi kretek dengan variasi jumlah batang. Tentu saja, untuk merek yang sama, harga satu bungkus rokok berisi 20 batang lebih mahal daripada yang 16 batang dan 12 batang. Padahal, kalau dihitung harga per batang kemasan 16 batang dan 12 batang kebanyakan lebih mahal per batangnya. Begitulah siasat mereka untuk merayu perokok pemula, seolah-olah rokok itu tetap murah.

Pemerintah membiarkan industri rokok sedemikian leluasa “mengelabui” konsumen. Tak seperti di banyak negara yang hanya mengenal rokok dengan kemasan 20 batang, di Indonesia begitu beragam. Lebih parah lagi, mengeteng beli satu batang pun bisa.

Pemerintah pun sangat mengetahui betapa pengeluaran orang miskin untuk rokok sangat besar, kedua setelah beras. Pengeluaran untuk rokok kretek filter hampir sama dengan gabungan pengeluaran untuk pemenuhan protein dari tahu, tempe, teluar ayam ras dan daging ayam ras.

Pemerintah juga harus tahu bahwa sekitar 30 persen pengeluaran BPJS Kesehatan disedot oleh pengidap penyakit yang terkait dengan rokok, sehingga berkontribusi secara berarti terhadap ketekoran (defisit) BPJS yang sampai sekarang belum kunjung ditutupi oleh pemerintah.

Apatah lagi sedari dulu pemerintah sadar betul bahwa rokok lebih banyak mudarat ketimbang maslahatnya. Karena itulah pemerintah mengenakan cukai rokok. Harus diingat, cukai rokok bertujuan bukan sebagai andalan penerimaan negara, melainkan alat untuk mengendalikan produksi dan konsumsi rokok. Pemerintah juga harus mengendalikan dan melemahkan berbagai siasat industri rokok menjangkau seluas mungkin masyarakat.

Jangan lagi surut seperti peristiwa menjelang pemilu lalu ketika pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok dan penyederhanaan tarif cukai. Sayangilah generasi emas.

Sedemikian pasifnya pemerintah sehingga mengakibatkan prevalensi merokok total di Indonesia terus naik.

Khusus untuk lelaki, prevalensi merokok di Indonesia adalah yang tertinggi kedua di dunia setelah Timor-Leste. Lebih 70 persen dari keseluruhan lelaki di Indonesia merokok, termasuk saya pribadi.

Jika kebanyakan negara di dunia telah berhasil mengurangi persentase penduduk merokok, di Indonesia angkanya naik terus, tak pernah turun barang sekali pun sejak tahun 2000.

Jika pemerintah sangat peduli terhadap peningkatan mutu modal manusia, menciptakan SDM unggul, tunjukkanlah secara nyata. Segera ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Harusnya kita malu menjadi satu dari tujuh negara di dunia yang belum kunjung menandatangani FCTC.  Enam negara lainnya adalah Somalia, Malawi, Eritrea, Andorra, Liechtenstein, dan Monako. Ada 180 negara di dunia yang sudah menandatangani FCTC.

Mereka di antaranya juga negara-negara produsen tembakau terbesar, seperti kita, misalnya Tiongkok, India, Brasil, dan Amerika Serikat.

Jangan lagi duduk satu meja dengan industri rokok untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah tegas dalam mengendalikan industri tembakau. Tak boleh lagi ada menteri yang bicara sesuka hati untuk kepentingan sektoralnya saja.

Ayo Pak Jokowi, goreskan tinta emas, melindungi generasi emas, dan menggapai Indonesia emas. Semoga terwujud nanti ketika merayakan seabad kemerdekaan.

Terima kasih, sampai jumpa.

Komentar