Masih tertancap kuat dalam ingatan kita ketika Jokowi didampingi Jusuf Kalla menyampaikan pidato kemenangan di atas kapal pinisi di pelabuhan Sunda Kelapa pada 22 Juli 2014. Alasan pemilihan tempat itu ialah untuk mengobarkan kembali semangat Indonesia sebagai negara maritim. Beberapa bulan kemudian pemerintahan Jokowi-JK membatalkan proyek pembangunan jembatan Selat Sunda, sebagai cerminan konsistensi mengedepankan roh maritim.
[https://www.youtube.com/watch?v=7K-nCj3RNdk]
Ketika menyampaikan pidato singkat setelah pelantikan pada 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo kembali menegaskan komitmennya:
“Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk.”
“Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di Laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.”
Di akhir pidatonya, Presiden Joko Widodo memperteguh tekad itu seraya menggelorakan jiwa cakrawati samudra:
“Mengakhiri pidato ini, saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk mengingat satu hal yang pernah disampaikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.”
Kini, kumandang roh maritim tak terdengar lagi. Berganti dengan “roh investasi”. Yang dekat dengan Presiden tak ada lagi yang memahami secara mendalam potensi maritim kita yang luar biasa. Menteri Koordinator Maritim dijabat oleh jenderal angkatan darat. Pada masa jabatannya yang kedua, Kementerian Koordinator Kemaritiman diperluas menjadi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Urusan kemaritiman terbenam di tengah hiruk-pikuk menggenjot investasi yang melahirkan gagasan Omnibus Law.
Ternyata selama pemerintahan Jokowi-JK realisasi pembangunan transportasi udara dan transportasi daratlah yang lebih pesat ketimbang transportasi laut. Peranan transportasi darat dalam perekonomian yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) menunjukkan peningkatan dari 2,14 persen tahun 2014 menjadi 2,47 persen pada 2019 (sampai September). Selama kurun waktu yang sama, peranan transportasi udara meningkat lebih pesat lagi, yakni dari 1,03 persen menjadi 1,62 persen.
Sebaliknya, peranan transportasi laut yang selama ini sudah sangat rendah karena tabiat “memunggungi laut” justru mengalami penurunan, dari 0,34 persen tahun 2014 menjadi 0,32 persen tahun 2019, bahkan sempat hanya 0,30 persen pada tahun 2018. Demikian pula dengan transportasi sungai, danau dan ferry yang turun dari 0,12 persen menjadi 0,11 persen.
Memang dalam segala hal kita kekurangan infrastruktur. Namun, perhatian terhadap angkutan laut dan angkutan berbasis air lainnya praktis tidak membuktikan pemerintah peduli dengan visi maritim yang didengung-dengungkan.
Ongkos logistik tetap mahal, pelayanan tol laut tidak menentu, sehingga integrasi perekonomian domestik tetap lemah.
Tak kurang dari 81 persen barang ekspor dan impor Indonesia diangkut oleh kapal asing. Pada tahun 2018, devisa Indonesia terkuras sebanyak 8,5 miliar dollar AS untuk membayar kapal asing itu. Ironis jika kita membandingkan dengan masa kejayaan Majapahit yang memiliki armada dagang lebih dari 400 kapal dan salah satu kapalnya lebih besar dari kapal terbesar milik Portugis kala itu.
Solusinya bukan dengan Omnibus Law.